16. SAKIP
TUGAS MATA KULIAH
KEUANGAN
NEGARA DAN DAERAH
SAKIP
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
Perbaikan
pemerintahan dan sistem manajemen merupakan agenda penting dalam reformasi birokrasi yang sedang dijalankan
oleh pemerintah saat ini. Sistem manajemen
pemerintahan diharapkan berfokus pada peningkatan akuntabilitas serta sekaligus
peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome). Maka
pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk penerapan sistem pertanggungjawaban
yang jelas dan teratur dan efektif yang disebut dengan Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah(SAKIP).
Akuntabilitas
merupakan kata kunci dari sistem tersebut yang dapat diartikan sebagai
perwujudan dari kewajiban seseorang atau instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban dan berupa laporan akuntabilitas yang disusun
secara periodik. Baca juga : Pembangunan Zona Integritas.
Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat dengan SAKIP tertuang
dalam Peraturan
Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah yang
mana didalamnya menyebutkan SAKIP merupakan rangkaian sistematik dari berbagai
aktivitas, alat dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan
pengukuran, pengumpulan data, pengklarifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan
kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan
peningkatan kinerja instansi pemerintah.
Tujuan
Sistem AKIP adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya pemerintah yang baik
dan terpercaya. Sedangkan sasaran dari Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah adalah:
1.
Menjadikan
instansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien,
efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya.
2.
Terwujudnya
transparansi instansi pemerintah.
3.
Terwujudnya
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
4.
Terpeliharanya
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Penyelenggaraan
SAKIP ini dilaksanakan untuk menghasilkan sebuah laporan kinerja yang
berkualitas serta selaras dan sesuai dengan tahapan-tahapan meliputi :
1. Rencana Strategis
Rencana
strategis merupakan dokumen perencanaan instansi pemerintah dalam periode 5
(lima) tahunan. Rencana strategis ini menjadi dokemen perencanaan untuk arah
pelaksanaan program dan kegiatan dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan
SAKIP. Penjelasan lebih lanjut mengenai rencana strategis akan ditulis pada
posting selanjutnya.
Perjanjian
kinerja adalah lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi
yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan
program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja. Perjanjian kinerja
selain berisi mengenai perjanjian penugasan/pemberian amanah, juga terdapat
sasaran strategis, indikator kinerja dan target yang diperjanjikan untuk
dilaksanakan dalam 1 (satu) tahun serta memuat rencana anggaran untuk program
dan kegiatan yang mendukung pecapaian sasaran strategis. Penjelasan lebih
lanjut dapat dibaca di Penyusunan Perjanjian Kinerja.
3. pengukuran kinerja
Pengukuran
kinerja merupakan langkah untuk membandingkan realisasi kinerja dengan sasaran
(target) kinerja yang dicantumkan dalam lembar/dokumen perjanjian kinerja dalam
rangka pelaksanaan APBN/APBD tahun berjalan. Pengukuran kinerja dilakukan oleh
penerima tugas atau penerima amanah pada seluruh instansi pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pengukuran akan ditulis pada posting
selanjutnya.
4. Pengelolaan Kinerja
Pengelolaan
kinerja merupakan proses pencatatan/registrasi, penatausahaan dan penyimpanan
data kinerja serta melaporkan data kinerja. Pengelolaan data kinerja
mempertimbangkan kebutuhan instansi pemerintah sebagai kebutuhan
manajerial, data/laporan keuangan yang dihasilkan dari sistem akuntansi dan
statistik pemerintah. Penjelasan lebih lanjut mengenai
pengelolaan kinerja akan ditulis pada posting selanjutnya.
Pelaporan
kinerja adalah proses menyusun dan menyajikan laporan kinerja atas prestasi
kerja yang dicapai berdasarkan Penggunaan Anggaran yang telah dialokasikan.
Laporan kinerja tersebut terdiri dari Laporan Kinerja Interim dan Laporan
Kinerja Tahunan. Laporan Kinerja Tahunan paling tidak memuat perencanaan
strategis, pencapaian sasaran strategis instansi pemerintah, realisasi
pencapaian sasaran strategis dan penjelasan yang memadai atas pencapaian
kinerja. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca di Penyusunan Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah.
Reviu
merupakan langkah dalam rangka untuk meyakinkan keandalan informasi yang
disajikan sebelum disampaikan kepada pimpinan. Reviu tersebut dilaksanakan oleh
Aparat pengawasan intern pemerintah dan hasil reviu berupa surat pernyataan
telah direviu yang ditandatangani oleh Aparat pengawasan intern pemerintah.
Sedangkan evalusi kinerja merupakan evaluasi dalam rangka implementasi SAKIP di
instansi pemerintah. Baca juga : Reviu Atas Laporan Kinerja.


Semakin meningkatnya tuntutan
Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (Good
governance dan clean government) melalui Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah telah mendorong pengembangan
dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang jelas dan teratur dan efektif yang
dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
penerapan tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
berdayaguna, berhasil guna dan bertanggungjawab dan bebas dari praktik kolusi,
korupsi dan nepotisme. (KKN).
Perbaikan governance dan
sistem manajemen merupakan agenda penting dalam reformasi pemerintahan yang
sedang dijalankan oleh pemerintah. Sistem manajemen pemerintahan yang berfokus
pada peningkatan akuntabilitas dan sekaligus peningkatan kinerja yang
berorientasi pada hasil (outcome) dikenal sebagai Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (Sistem AKIP). Sistem AKIP diimplementasikan secara “self
assesment” oleh masing-masing instansi pemerintah, ini berarti instansi
pemerintah secara mandiri merencanakan, melaksanakan, mengukur dan memantau
kinerja serta melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi. Pelaksanaan
sistem dengan mekanisme semacam itu, memerlukan evaluasi dari pihak yang lebih
independen agar diperoleh umpan balik yang obyektif untuk meningkatkan
akuntabilitas dan kinerja instansi pemerintah.
Akuntabilitas merupakan
perwujudan dari kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban dan berupa laporan akuntabilitas yang disusun
secara periodik. Dan sistem Akip ini juga perlu di evaluasi melalui Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/135/M.PAN/9/2004 tentang
Pedoman Umum Evaluasi. Oleh karnanya setelah menyusun Lakip maka
selanjutnya Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
memberikan informasi kinerja instansi pemerintah dan memberikan manfaat untuk :
a. Mendorong
instansi pemerintah untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintah dan
pembangunan secara baik dan benar (good governance) yang berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijaksanaan yang transparan
dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat;
b. Menjadikan
instansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien,
efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya;
c. Menjadi
masukan serta umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka
meningkatkan kinerja instansi pemerintah;
d. Terpeliharanya
kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Bagan SAKIP



Pedoman Evaluasi SAKIP
Seluruh
instansi pemerintah telah diwajibkan untuk menyusun Laporan Kinerja di setiap
tahunnya, hal itu merupakan salah satu wujud penguatan akuntabilitas kinerja
yang merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam rangka reformasi
birokrasi. Penguatan akuntabilitas ini dilaksanakan dengan penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang SAKIP.
Baca
juga : Penyusunan Laporan Kinerja
Instansi Pemerintah
Selanjutnya
untuk mengetahui sejauh mana instansi pemerintah mengimplementasikan SAKIP-nya,
serta sekaligus untuk mendorong adanya peningkatan kinerja instansi pemerintah,
maka perlu dilakukan suatu evaluasi implementasi SAKIP. Evaluasi ini diharapkan
dapat mendorong instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk secara konsisten
meningkatkan implementasi SAKIP-nya dan mewujudkan capaian kinerja (hasil)
instansinya sesuai yang diamanahkan dalam RPJMN/RPJMD.
Untuk
melaksanakan evaluasi sistem AKIP tersebut maka Kementerian PAN & RB menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 12 Tahun 2015 tentang Pedoman
Evaluasi Atas Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan tersebut merupakan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 29 tahun
2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Baca
juga : Evaluasi Kinerja Pelayanan
Publik
Cakupan/ruang
lingkup Implementasi SAKIP yang dievaluasi adalah :
1. Penilaian terhadap perencanaan strategis, termasuk di dalamnya perjanjian kinerja, dan sistem pengukuran kinerja;
2. Penilaian terhadap penyajian dan pengungkapan informasi kinerja;
3. Evaluasi terhadap program dan kegiatan; dan
4. Evaluasi terhadap kebijakan instansi/unit kerja yang bersangkutan.
1. Penilaian terhadap perencanaan strategis, termasuk di dalamnya perjanjian kinerja, dan sistem pengukuran kinerja;
2. Penilaian terhadap penyajian dan pengungkapan informasi kinerja;
3. Evaluasi terhadap program dan kegiatan; dan
4. Evaluasi terhadap kebijakan instansi/unit kerja yang bersangkutan.
Dalam
pelaksanaan evaluasi atas implementasi SAKIP dilaksanakan melalui tahapan
Survei Pendahuluan dan Evaluasi atas Implementasi SAKIP. Survei pendahuluan
dilaksanakan untuk memahami dan mendapatkan gambaran umum mengenai
kegiatan/unit kerja yang akan dievaluasi. Sedangkan evaluasi implementasi
terdiri atas evaluasi penerapan komponen manajemen kinerja yang meliputi:
perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi internal,
dan capaian kinerja.
Evaluasi
atas akuntabilitas kinerja instansi harus menyimpulkan hasil penilaian atas
fakta obyektif Instansi pemerintah dalam mengimplementasikan perencanaan
kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja dan capaian
kinerja sesuai dengan kriteria masing-masing komponen yang ada dalam LKE.
Setelah
melaksanakan tahapan-tahapan dalam evaluasi atas implementasi SAKIP harus
menghasilkan Kertas Kerja Evaluasi (KKE) dan Laporan Hasil Evaluasi (LHE). LHE
ini disusun berdasarkan berbagai hasil pengumpulan data dan fakta serta
analisis yang didokumentasikan dalam KKE.
LHE
disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian dan mengungkapkan hal-hal penting
bagi perbaikan manajemen kinerja instansi pemerintah yang dievaluasi.
Permasalahan atau temuan sementara hasil evaluasi (tentative finding) dan saran
perbaikannya harus diungkapkan secara jelas dan dikomunikasikan kepada pihak
instansi pemerintah yang dievaluasi untuk mendapatkan konfirmasi ataupun
tanggapan secukupnya.
Tiga Provinsi yang nilai Sakip A
Hanya ada tiga provinsi di Indonesia
yang peroleh hasil dari nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) nilai A. Ketiga provinsi t
ersebut yakni Jawa Timur, DI Yogyakarta dan Jawa Barat.
Dari 34 provinsi baru tiga saja yang dapat nilai A dan belum ada yang raih nilai AA.
Sedangkan untuk kabupaten kota yang meraih nilai A
saat ini hanya Kabupaten Banyuwangi dan Kota Bandung.
Hasil
Evaluasi SAKIP
Hasil evaluasi SAKIP
menunjukkan bahwa kelemahan utama yang menjadi penyebab rendahnya skor SAKIP
terletak pada kelemahan penyusunan dokumen perencanaan. Kelemahan ini tentu
saja akan membawa dampak yang besar terhadap siklus selanjutnya. Dokumen
perencanaan yang disusun pada umumnya tidak memuat sasaran dan indikator
kinerja yang dapat mengukur keberhasilan atau kegagalan sasaran yang telah
ditetapkan. Dengan demikian pengukuran kinerja, yaitu membandingkan antara
target dengan realisasi, tidak bisa dilakukan. Ketiadaan indikator kinerja dan
target yang ditetapkan adalah hal yang paling krusial dalam penilaian
akuntabilitas instansi pemerintah. Proses akuntabilitas tidak mungkin bisa
dilaksanakan jika instansi pemerintah tidak menetapkan apa yang ingin dicapai
dengan indikator kinerja yang obyektif dan terukur. Hasilnya, dokumen perencanaan
hanya memuat program dan kegiatan sebagai pelaksanaan janji-janji kepala daerah
yang sulit untuk diukur keberhasilan pertanggungjawabannya.
Kelemahan dokumen
perencanaan strategis pemerintah daerah tak bisa dilepaskan dari
peraturan-peraturan tentang tata cara penyusunan dokumen perencanaan yang
disusun oleh pemerintah sebagai dasar dalam penyusunannya. Undang-undang nomor
24 tahun 2004 tentang sistem perencanaan nasional menyebutkan bahwa isi RPJM
terdiri dari visi, misi, arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan
daerah, kebijakan umum, program SKPD, lintas SKPD, program kewilayahan disertai
dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan
yang bersifat indikatif. Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009
juga memberikan arahan yang sama dengan undang-undang di atas. RPJMN 2004-2009
menyatakan bahwa RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi dan program
presiden hasil pemilu. Sehingga, sistematika dan rumusan RPJMN tidak disusun
berdasarkan konsep akuntabilitas kinerja sebagaimana yang menjadi amanat inpres
nomor 7 tahun 2009 tetapi berdasarkan pada Undang-Undang di atas. Jika RPJMN
dilihat secara mendalam maka unsur tujuan dan sasaran stratejik serta indikator
kinerja dan target yang akan dicapai tidak ditetapkan. Sebaliknya, RPJMN lebih
memberikan penekanan kepada agenda pembangunan serta kebijakan dan
program-program yang akan dilaksanakan tanpa menyinggung rencana capaian
kinerja yang dapat diukur secara obyektif.
Kebijakan Pemerintah di
atas tentu membawa pengaruh terhadap dokumen perencanaan yang disusun oleh
pemerintah daerah (pemda) karena dalam penyusunan RPJMD pemda harus menjadikan
RPJMN sebagai acuan. Sehingga, tidaklah mengherankan jika dalam RPJMD yang
disusun pada tahun 2004 hingga tahun 2008 pemda secara umum menggunakan
sistematika penyusunan perencanaan stratejiknya berdasarkan pola yang sudah
ditetapkan dalam RPJMN. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya
penilaian dokumen renstra.
Kemudian, rentang waktu
berlakunya RPJMD selama 5 tahun setidaknya turut berkontribusi pada rendahnya
hasil evaluasi SAKIP dari tahun ke tahun. Rentang waktu lima tahun ini lah yang
membuat kesalahan ini terbawa dari tahun ke tahun selama tidak dilakukan revisi
atau penyusunan suplemen untuk melengkapi RPJMD dengan indikator kinerja
beserta targetnya. Dengan demikian, adalah hal yang wajar jika hasil evaluasi
SAKIP dari tahun ke tahun, khususnya dalam aspek perencanaan stratejik, tidak
menunjukkan adanya perubahan yang signifikan.
Renja
Aspek lain dalam
perencanaan kinerja yang berkontribusi terhadap rendahnya hasil evaluasi SAKIP
adalah dokumen perencanaan kinerja tahunan (renja). Kelemahan pertama adalah
bahwa selama ini renja pada tingkat kabupaten/kota tidak disusun. Sebaliknya,
dokumen perencanaan yang disusun adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang
memuat kebijakan, program, kegiatan, indikator keluaran dan pagu indikatif.
Dalam penyusunan dokumen perencanaan tahunan pemerintah daerah mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
Rendahnya nilai pada perencanaan kinerja tahunan (RKT) mengikuti pola yang sama
dengan hasil evaluasi atas renstra. Peraturan Pemerintah yang digunakan sebagai
acuan dalam penyusunan RKT belum sinkron dengan kebutuhan yang diperlukan untuk
melakukan akuntabilitas kinerja.
Selanjutnya, dalam hal
evaluasi atas pelaksanaan pembangunan pun peraturan yang mengatur, PP Nomor 39
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan, tidak menyinggung indikator kinerja sasaran. PP tersebut
mendefinisikan pengendalian sebagai serangkaian kegiatan manajemen yang
dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi didefinisikan sebagai
rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output),
dan hasil (outcome). Outcome sendiri didefinisikan sebagai berfungsinya keluaran
dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.
Secara umum PP nomor 39
tahun 2006 hanya mengatur tentang bagaimana melakukan evaluasi atas
ketercapaian kegiatan sebagaimana yang selama ini telah dilakukan oleh
pemerintah daerah. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan lebih kepada
pengukuran capaian input dan output yang tercermin dalam laporan realisasi
fisik dan keuangan SKPD. Definisi atas outcome menurut peraturan di atas
menunjukkan bahwa pendekatan kinerja belum menyentuh substansi perencanaan.
Dengan kata lain, outcome seharusnya menjadi awal dari sebuah proses
perencanaan.
Dengan mendefinisikan outcome sebagai berfungsinya keluaran maka pemerintah daerah tidak didorong untuk melakukan inovasi-inovasi untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada hasil. Sebaliknya, pemerintah daerah justru didorong untuk berfikir bagaimana menetapkan hasil yang diinginkan setelah melakukan suatu kegiatan. Hasilnya penetapan outcome kegiatan yang ada dalam RKT sulit untuk diukur dan dipertanggungjawabkan.
Dalam beberapa literature, outcome juga didefinisikan sebagai hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan. Perbedaan definisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap pola pikir bagaimana melakukan perencanaan. Perencanaan stratejik atau pun perencanaan tahunan seharusnya dimulai dari penetapan outcome atau hasil apa yang ingin dicapai selama periode tertentu. Misalnya, Dinas Pertanian menetapkan sasaran meningkatnya hasil pertanian. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diembannya, SKPD ini menargetkan produksi padi sebesar 20 juta ton. Berangkat dari indikator dan target inilah seharusnya penentuan kegiatan dan penganggaran Dinas Pertanian di arahkan. Sehingga, Dinas Pertanian hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak yang besar terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pencapaian target tidak perlu dilakukan. Implikasinya, pemda didorong untuk melakukan inovasi-inovasi kegiatan dan hanya menetapkan kegiatan-kegiatan yang efektif untuk pencapaian sasaran. Sebaliknya, jika outcome didefinisikan sebagai berfungsinya keluaran maka pemda cenderung melakukan kegiatan yang sama dari tahun ke tahun dan tidak didorong untuk melakukan inovasi dan terobosan-terobosan untuk melakukan kegiatan yang mempunyai dampak besar terhadap pencapaian tujuan instansi.
Dengan mendefinisikan outcome sebagai berfungsinya keluaran maka pemerintah daerah tidak didorong untuk melakukan inovasi-inovasi untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada hasil. Sebaliknya, pemerintah daerah justru didorong untuk berfikir bagaimana menetapkan hasil yang diinginkan setelah melakukan suatu kegiatan. Hasilnya penetapan outcome kegiatan yang ada dalam RKT sulit untuk diukur dan dipertanggungjawabkan.
Dalam beberapa literature, outcome juga didefinisikan sebagai hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan. Perbedaan definisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap pola pikir bagaimana melakukan perencanaan. Perencanaan stratejik atau pun perencanaan tahunan seharusnya dimulai dari penetapan outcome atau hasil apa yang ingin dicapai selama periode tertentu. Misalnya, Dinas Pertanian menetapkan sasaran meningkatnya hasil pertanian. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diembannya, SKPD ini menargetkan produksi padi sebesar 20 juta ton. Berangkat dari indikator dan target inilah seharusnya penentuan kegiatan dan penganggaran Dinas Pertanian di arahkan. Sehingga, Dinas Pertanian hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak yang besar terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pencapaian target tidak perlu dilakukan. Implikasinya, pemda didorong untuk melakukan inovasi-inovasi kegiatan dan hanya menetapkan kegiatan-kegiatan yang efektif untuk pencapaian sasaran. Sebaliknya, jika outcome didefinisikan sebagai berfungsinya keluaran maka pemda cenderung melakukan kegiatan yang sama dari tahun ke tahun dan tidak didorong untuk melakukan inovasi dan terobosan-terobosan untuk melakukan kegiatan yang mempunyai dampak besar terhadap pencapaian tujuan instansi.
Tapkin
Penyebab rendahnya hasil
evaluasi SAKIP ketiga dalam hal dokumen perencanaan adalah belum disusunnya
dokumen penetapan kinerja (Tapkin). Peraturan terkait dengan tapkin sebenarnya
telah terbit sejak tahun 2004, yaitu Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi yang kemudian ditindaklanjuti dengan SE Menpan
Nomor SE-31/M.PAN/XII/2004 tentang Penetapan Kinerja. Namun demikian, peraturan
ini sepertinya belum tersosialisasikan dengan baik yang terlihat dari masih
banyaknya pemerintah daerah yang belum menyusun tapkin. Permasalahan lain dalam
hal penetapan kinerja adalah indikator outcome dalam penetapan kinerja
seharusnya mengacu pada indikator kinerja sasaran pada RPJMD. Hal yang sering
terjadi, indikator kinerja outcome belum memenuhi criteria indikator kinerja
yang baik. Selama ini, dalam penyusunan penetapan kinerja outcome yang menjadi
target tahunan dalam tapkin mengacu pada outcome kegiatan. Hasilnya, dokumen
penetapan kinerja masih sebatas formalitas. Selain peraturan tentang tapkin di
atas Menpan pada dasaranya telah mengeluarkan modul pelatihan penyusunan tapkin
yang dapat digunakan sebagai alat untuk meminta pertanggungjawaban baik pada
tingkat kepala daerah ataupun kepala SKPD yang telah dikeluarkan pada tahun
2005. Namun demikian, modul ini belum disosialisasikan secara luas. Hal ini
terlihat dari dokumen tapkin yang disusun pemda sebagian besar belum menetapkan
indikaotr kinerja outcome sebagaimana yang telah diarahkan dalam modul
tersebut. Sehingga, tapkin yang disusun oleh pemda ataupun SKPD belum dapat
digunakan sebagai dasar penetapan kinerja yang dapat mengikat kepala daerah
ataupun kepala SKPD untuk mencapai target kinerja yang tidak hanya sebatas pada
pencapaian kegiatan.
Menuju Kejelasan Konsep
Akuntabilitas:
Konsep akuntabilitas yang
dikembangkan oleh Menpan hingga saat ini telah mengalami perkembangan menuju
arah kematangan penerapan manajemen kinerja yang sesungguhnya. Pada awal
diterapkannya sistem AKIP khususnya pada periode sebelum tahun 2004 menunjukkan
bahwa konsep tersebut belum dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah yang sesungguhnya, apalagi untuk meningkatkan
kinerja instansi pemerintah. Hal ini terlihat dalam LAKIP yang disusun oleh
pemda pada periode tersebut dimana indikator-indikator yang disusun masih
banyak yang belum memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk melakukan pengukuran kinerja. Namun demikian,
dalam perkembangan terbitnya peraturan perundangan setelah tahun 2004 yang
ditandai dengan dikeluarkannya SE Menpan Nomor SE-31/M.PAN/XII/2004 tentang
Penetapan Kinerja dan ditindaklanjuti dengan disusunnya modul penetapan kinerja
konsep AKIP mulai menunjukkan titik terang. Peraturan-peraturan perundangan
yang terbit pasca tahun 2007 yang terkait dengan sistem AKIP semakin
menunjukkan kematangan konsep ini.
Indikator Kinerja Utama vs Indikator Kinerja Kunci
Permenpan Nomor
PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di
Lingkungan Instansi Pemerintah terbit pada tanggal 31 Mei 2007. Dalam peraturan
ini pemerintah daerah diwajibkan untuk menetapkan indikator kinerja utama (IKU)
yang harus memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik yaitu spesifik, dapat
dicapai, relevan, menggambarkan keberhasilan sesuatu yang diukur, dan dapat
dikuantifikasi dan diukur. Selain itu, peraturan ini juga memberikan arahan
bahwa IKU harus digunakan dalam penyusunan dokumen-dokumen perencanaan baik
jangka menengah maupun tahunan, penyusunan laporan akuntabilitas kinerja,
evaluasi kinerja instansi pemerintah, dan pemantauan dan pengendalian kinerja
pelaksanaan program dan kegiatan. Meski demikian, peraturan ini masih belum
memberikan contoh secara konkrit indikator kinerja utama yang sesungguhnya.
Hingga kemudian muncul PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya SE Mendagri Nomor 120/2136/OTDA tanggal 9 Oktober 2008 perihal penyempurnaan IKK pada lampiran petunjuk teknis pengisian suplemen LPPD tahun 2007 dalam rangka EKPPD perjalanan konsep akuntabilitas telah menuju arah kesempurnaan. PP nomor 8 tahun 2008 pada dasarnya terbit dalam rangkan untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan yang disusun berdasarkan PP Nomor 3 Tahun 2007 bukan dalam konteks menyempurnakan sistem AKIP. Namun demikian, indikator indikator kinerja kunci yang ada dalam lempiran PP tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya SE Mendagri Nomor 120/2136/OTDA pada dasarnya dapat digunakan sebagai indikator kinerja utama dalam sistem AKIP. SE Mendagri memberikan arahan tentang indikator kinerja utama untuk setiap urusan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga hal ini memudahkan dalam mensinergikan indikator kinerja kunci tersebut dengan sistem AKIP.
Hingga kemudian muncul PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya SE Mendagri Nomor 120/2136/OTDA tanggal 9 Oktober 2008 perihal penyempurnaan IKK pada lampiran petunjuk teknis pengisian suplemen LPPD tahun 2007 dalam rangka EKPPD perjalanan konsep akuntabilitas telah menuju arah kesempurnaan. PP nomor 8 tahun 2008 pada dasarnya terbit dalam rangkan untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan yang disusun berdasarkan PP Nomor 3 Tahun 2007 bukan dalam konteks menyempurnakan sistem AKIP. Namun demikian, indikator indikator kinerja kunci yang ada dalam lempiran PP tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya SE Mendagri Nomor 120/2136/OTDA pada dasarnya dapat digunakan sebagai indikator kinerja utama dalam sistem AKIP. SE Mendagri memberikan arahan tentang indikator kinerja utama untuk setiap urusan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga hal ini memudahkan dalam mensinergikan indikator kinerja kunci tersebut dengan sistem AKIP.
Contoh Cascading.


PP Nomor 8 Tahun 2008 dan Rencana Jangka Panjang Nasional 2010-2015
Selain peraturan
perundangan mengenai indikator kinerja utama yang menjadi sebuah titik terang
penerapan konsep AKIP, pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 8 Tahun 2008
mengenai Tahapan, Tata Cara, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah yang menjadi dasar penyusunan dokumen perencanaan. Peraturan
pemerintah tersebut tak hanya memberikan arahan tentang prosedur penyusunan
dokumen perencanaan, baik jangka panjang, menengah dan tahunan, tetapi juga
menggariskan sistematika penulisannya. Dari sisi sistematika terlihat jelas
bahwa konsep SAKIP sudah dimasukkan dalam peraturan perundangan. Hal ini
terlihat adanya unsur sasaran, indikator kinerja beserta target yang harus ada
dalam dokumen RPJMD, Renstra dan Perencanaan Knerja Tahunan.
Peraturan lain yang dapat
menjadi pendorong perbaikan penerapan sistem AKIP adalah RPJMN 2010-2014 yang
sudah memasukkan unsur sasaran beserta target yang ingin dicapai. Meskipun
sistematika yang ada dalam RPJMN tidak sepenuhnya sama dengan peraturan
pemerintah yang mengatur tentang tata cara penyusunan perencanaan pembangunan
daerah, RPJMN 2010-2014 sudah cukup memadai untuk dijadikan sebagai pijakan
dalam mendorong pemerintah daerah untuk mengacu pada RPJMN dalam menyusun
RPJMD. RPJMN 2010-2014 telah menetapkan secara rinci sasaran-sasaran yang ingin
dicapai dan indikator-indikator yang sebagian besar telah memenuhi kriteria
indikator kinerja yang baik. Misalnya, untuk mengukur kinerja bidang
pendididikan, RPJMN sudah menyinggung tentang Angka Partisipasi Murni (APM)
dari tingkat SD hingga SLTA. Demikian halnya untuk kinerja bidang pertanian
RPJMN sudah menyinggung tentang produksi hasil pertanian.
Dengan diterbitkannya PP
Nomor 8 Tahun 2008 dan RPJMN 2010-2014 penerapan sistem AKIP pasca tahun 2008
sudah harus lebih baik. Sehingga hasil evaluasi SAKIP yang dilaksanakan oleh
Menpan pada tahun 2011 yang menilai penerapan SAKIP mulai dari dokumen
perencanaan hingga LAKIP tahun 2010, yaitu tahun pertama dilaksanakannya RPJMD
untuk pemerintah daerah yang baru saja menyelenggarakan Pilkada, harus
menunjukkan adanya peningkatan kualitas.
Contoh
:
Provinsi yang mendapat
predikat A pada nilai Sakip nya adalah salah satunya Provinsi Jawa Timur.
Hal-hal yang membuat
Provinsi Jawa Timur mendapat predikat A antara lain :
·
Dari sisi perencanaan
Untuk
proses perencanaan : Renstra, Renja memenuhi cakupan dan bobot yang diharapkan
·
Pengukuran Kinerja
Pengukuran
kinerja dari perjanjian kinerja dan capaian kinerja dapat terukur dengan baik.
·
Pelaporan
Bentuk
pelaporan dalam pelaksanaan kinerja tersusun sesuai dengan peraturan yang
berlaku
·
Evaluasi Internal
Evaluasi
internal dilakukan secara berkala dan berkesinambungan
·
Capaian Kinerja
Capaian
kinerja dapat dibuktikan disertai dengan data pendukung
Untuk Provinsi DKI
Jakarta hal-hal yang perlu diperhatikan agar Sakip mendapat predikat A yaitu :
·
Perencanaan
Pada
saat penyusunan Renstra, Renja perlu memperhatikan indikator, outcome, out put
yang dapat terukur sehingga dapat dicapai dengan nyata, penentuan target dalam
perencanaan tidak berdasarkan data yang tidak terukur dan ambigu, namun data
harus jelas real dan terukur.
·
Pengukuran Kinerja
Pelaksanaan
kegiatan dan pengukuran kinerja dilakukan sesuai dengan dokumen perencanaan
(Renstra, Renja, RKA, DPA) dihitung sesuai dengan data pelaksanaan di
bandingkan dengan data perencanaan
·
Pelaporan
Penyusunan
pelaporan harus mempedomani kaidah-kaidah penyusunan pelaporan dan sesuai
dengan aturan yang berlaku, dan data yang dijelaskan dan dituangkan dalam
laporan dapat dimengerti oleh pembaca, tidak ambigu, namun harus lugas dan
jelas didukung data yang akurat untuk mempertegas capaian kinerja
·
Evaluasi Internal
Pelaksanaan
evaluasi internal harus dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan data
perencanaan dan pelaksanaan
·
Capaian Kinerja
Capaian
kinerja dituangkan dengan jelas agar mudah terukur dan sesaui dengan kondisi
yang ada.
Comments
Post a Comment